Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Semarak Sempena Dua Dekade, Jikalahari Adakan Diskusi Tentang Keadilan Ekologis Bagi Flora dan Fauna di Riau

Semarak Sempena Dua Dekade, Jikalahari Adakan Diskusi Tentang Keadilan Ekologis Bagi Flora dan Fauna di Riau



Berita Baru, Pekanbaru – Dalam memeriahkan perayaan dua puluh tahun Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), mereka mengadakan diskusi di Kompleks Banda Serai Raja Ali Haji, pada Senin (7/3/2022). Tema yang diangkat dalam kegiatan ini “Memberikan Keadilan Ekologis Bagi Flora dan Fauna di Riau”.

Diketahui tujuan diskusi ini adalah untuk memperjuangkan terwujudnya keadilan dan kelestarian pengelolaan hutan di Riau, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan tanpa berafiliasi dengan lembaga atau organisasi merusak lingkungan.

Sejumlah pembicara juga mereka hadirkan pada diskusi dalam merayakan dua dekade organisasinya tersebut.

Adapun pembicara utama dalam kegiatan ini adalah Plt. Kepala BBKSDA Riau, Fifin Arfiana Jogasara dengan pembahasan kondisi konservasi di Riau. Namun ia berhalangan hadir, kemudian digantikan oleh Kepala Bidang Teknis BBKSDA Riau, Muhammad Mahfud.

Kata Mahfud, dalam penyelenggaraan konservasi diatur dalam PP nomor 28 tahun 2011, bahwasanya konservasi harus memiliki perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan dan evaluasi kesesuaian fungsi.

“Kalau kita bicara konservasi, sudah pasti tentu lebih banyak dilarangnya. Contohnya, dilarang menebang pohon, dilarang membakar hutan, dan lain sebagainya,” ujar Mahfud.

Selain banyak larangannya, kata dia, terlalu banyak tantangan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Misalnya, soal penegakan hukum, kebakaran hutan dan lahan, ilegal logging, konflik satwa liar, serta konflik lahan hutan, baik itu konversi hutan dan pemukiman dalam kawasan.

Mahfud menyampaikan bahwa terdapat 20 kawasan konservasi di Riau. Diantaranya, ada sebanyak 2 Cagar Alam, 10 Suaka Margasatwa, 1 Taman Buru, 1 Taman Nasional, dan 3 Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam.

“Saat ini dengan adanya perkembangan sosial, budaya, dan ekonomi, tentunya kita harus bisa merubah paradigma dalam pengelolaan kawasan hutan,” ucapnya.

Sedangkan Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setiyo menyampaikan keterlibatan koorporasi dalam penghancuran flora dan fauna di Riau.

Kata dia, setiap tahunnya hutan di Riau mengalami deforestasi dari masa ke masa. Tercatat, pada tahun 1982, luas hutan di Bumi Lancang Kuning ini berjumlah lebih kurang 6.727.546 hektar.

Namun berdasarkan data pada tahun 2020, luas hutan di Riau telah mengalami deforestasi. Jadi luas hutan hanya tersisa lebih kurang 1.427.363 hektar.

“Maka ini merupakan tugas pokok kita bersama untuk menjaga ekologis flora dan fauna ditengah deforestasi yang terjadi di Riau,” ujar Okto.

Ia juga memaparkan hasil investigasi tahun 2013. Dimana pada tahun itu, ditemukan PT Triomas FDI melalui alat beratnya sedang menebang dan menebas hutan alam di salah satu hamparan areal yang masih berhutan alam lebat. Bahkan ada tegakan dan pohon ramin (Gonystylus spp) yang ditebang.

Menurut peraturan internasional (CITES dan IUCN) yang juga ditegaskan oleh SK Menhut Nomor 168 tahun 2001, mengatur bahwa eksploitasi pohon ramin adalah dilarang, karena masuk dalam kategori langka dan hampir punah.

Kemudian, pada (25/2/2021), Jikalahari melakukan peninjauan lokasi kepungan Sialang Ampean Tudung yang dihancurkan oleh PT Arara Abadi, Distrik Nillo, Kabupaten Pelalawan.

Temuan dari perusakan kepungan sialang, bahwa terdapat kayu yang sudah berusia puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, diantaranya kayu Sesonduk dengan diameter 120 cm, kayu Simangkaliang berumur sekitar ratusan tahun berdiameter 480 cm, kayu Batu/Puso Tigo Bono dengan diameter 61 cm, dan kayu Tumangu berdiameter 410 cm.

“Semuanya hancur, ini kami lihat saat kami meninjau lokasi tersebut bersama Datuk-datuk Majelis Kerapatan Adat (MKA) Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau dan Pelalawan, beserta masyarakat adat,” ungkapnya.

Selain itu, Okto juga mengatakan, rusak dan hancurnya rumah bagi flora dan fauna di Riau, karena sebagian besar perusahaan yang membuka dan mengelola hutan gambut tak sesuai karakter tanah. Akibatnya menyebabkan hutan gambut menjadi kritis dan mudah terbakar.

Disamping itu, prilaku korporasi yang membuka hutan dan lahan, kebanyakan motif atau caranya dengan membakar agar bisa meraup keuntungan ekonomi dari penghematan biaya produksi.

“Selain adanya kerusakan dan hancurnya rumah bagi flora, sudah pasti juga akan menghancurkan rumah bagi para fauna. Akibatnya, sebagai contoh konflik antara manusia dengan satwa liar seperti harimau sumatera sering terjadi di Riau,” pungkasnya.

Setidaknya dari tahun 2018 sampai 2022, tercatat ada sebanyak 8 kasus diterkam harimau sumatera di Riau. Baru-baru ini, pada 6 Februari 2022, seorang warga bernama Tugiat ditemukan tewas mengenaskan diterkam harimau Sumatera. Kepalanya ditemukan sudah terpisah dari badannya, bagian kaki kirinya sebagian sudah dimakan. Peristiwa itu terjadi di Desa Simpang Gaung, Kecamatan Gaung, Inhil. Lokasi kejadian itu berada di areal HTI PT SPA.

Penulis : Sahrizal