Kuasa Hukum Masih Tidak Percaya Berkas Perkara Ketua Kopsa M P21
Berita Baru, Pekanbaru – Kuasa hukum ketua Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) Anthony Hamzah dari Equality Law Firm, Samaratul Fuad, masih tidak menyangka berkas perkara kliennya dinyatakan lengkap atau P21 oleh Kejaksaan Negeri Kampar.
Fuad pun mempertanyakan alat bukti apa yang bisa membuat berkas perkara kliennya itu P21. Ia juga heran kenapa baru sekarang P21, sebab masa penahanan kliennya tinggal dua hari lagi.
“Pakai bukti apa kok bisa P21? Sudah tinggal dua hari lagi, kenapa tidak dari kemarin-kemarin P21-nya. Ada kepentingan apa? Biar masyarakat tahu,” ujar Fuad saat dihubungi Beritabaru.co, Kamis (3/3/2022).
Ketika ditanyai apakah dia melihat ada kejanggalan dalam kelengkapan berkas tersebut, Fuad pun berkomentar. Ia mengatakan, kliennya (Anthony Hamzah) pada saat pemeriksaan mengajukan tiga orang saksi yang meringankan, namun kenyataannya hanya satu orang yang diperiksa oleh penyidik Satreskrim Polres Kampar.
“Cuma satu orang diperiksa, dua orang lagi tidak diperiksa oleh penyidik dengan dalih yang tidak berdasarkan hukum,” sebutnya.
Dengan tidak diperiksanya dua orang saksi yang meringankan tersebut, kata dia, penyidik Satreskrim Polres kampar telah melanggar ketentuan pasal 116 ayat 3 dan 4 KUHAP. “Sudah melanggar, jelas-jelas hal tersebut merupakan pelanggaran HAM,” katanya.
Kuasa Hukum Sebut Berkas Perkara Kliennya Tidak Cukup Bukti
Sebelum adanya informasi P21, kuasa hukum Anthony Hamzah, Fuad mengatakan bahwa pihaknya telah bersurat ke Kepala Kejaksaan Negeri Kampar agar menolak pelimpahan berkas perkara kliennya, karena tidak cukup bukti.
“Tapi hal itu tidak mendapat respon sebagaimana mestinya, justru Jaksa Penuntut Umum bersikukuh menyatakan bahwa pelimpahan berkas perkara adalah sesuai dengan aturan dan menyatakan bahwa perkara ketua Kopsa M sudah cukup buktinya atau P21,” ujarnya.
Kemudian ia menyebut pelapor dalam perkara yang disangkakan terhadap kliennya adalah PT LH perusahaan tanpa izin atau ilegal. “Apalagi lahan tersebut bukanlah milik PT LH, akan tetapi milik orang perseorangan, sehingga perusahaan tersebut secara hukum tidak memiliki hak atas lokasi tempat kejadian peristiwa yang di sangkakan kepada klien kami,”
Lalu kata dia, barang bukti yang disita dalam perkara yang disangkakan kepada kliennya adalah barang bukti yang dipergunakan dalam perkara Nomor:384/Pid.B/2021/PN.Bkn, dengan tersangka Hendra Saksi Efendi. Adapun barang buktinya berupa satu buah linggis ukuran 100 cm, satu buah gembok merek torch warna silver, dua helai baju warna hijau yang bertuliskan Kopsa-M, satu buah egrek bergagang fiber dan satu buah tojok.
“BB itu telah dinyatakan dalam putusan pengadilan untuk dimusnahkan. Sehingga menurut pendapat kami hal yang demikian terdapat cacat hukum dalam penyitaan tersebut. Karena BB yang disita tersebut telah di perintahkan untuk dimusnahkan dan perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap,”
“Jika perintah untuk dimusnahkan tersebut tidak dilaksanakan oleh JPU dalam perkara tersebut tentu akan menjadi persoalan tersendiri bagai JPU yang bertanggung jawab terhadap kasus Hendra Sakti Efendi, dimana berita acara pelaksanaan putusan perkara tersebut tentu harus dilaksanakan dan pelaksanaannya sepengetahuan kami adalah tugas hakim pengawas pada PN Bangkinang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksaaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,” imbuhnya.
Selain itu, bukti – bukti surat berupa kwitansi, Fuad mengatakan bahwa bukti surat yang tidak ada aslinya dan tidak dilegalisir, maka tidak bisa digunakan untuk mentersangkakan kliennya. Apalagi dalam putusan pengadilan terhadap Hendra Sakti yang terbukti adalah pemerasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP, bukan pengrusakan.
Kata dia, ada hal lain juga terungkap ketika persidangan praperadilan yang diajukan kliennya. Ternyata Polres Kampar sebagai pihak termohon tidak bisa menjelaskan dan membuktikan bagaimana proses pemerasan, korban pemerasan, jumlah barang atau benda yang menjadi bukti pemerasan tersebut dan bagaimana hubungan antara kliennya.
Atas hal ini Fuad menilai tindakan penyidik dan JPU melanggar ketentuan pasal 116 ayat 3 dan 4 KUHAP.
“Tindakan ini jelas-jelas menunjukkan bahwa penyidik dan JPU tidak profesional dan telah melanggar kode etik, serta sumpah jabatan. Sebab tidak menjunjung tinggi hukum dan hak-hak tersangka, serta HAM. Dimana setiap orang memliki kedudukan yang sama didepan hukum. Sehingga sangat patut diduga bahwa ada kemufakatan jahat antara penyidik dengan JPU,”
Menurutnya, terhadap prilaku dan tindakan yang demikian, tentunya penyidik harus diperiksa oleh Wassidik dan Propam Polri. Sedangkan terhadap JPU harus diperiksa oleh Komisi Kejaksaan dan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan untuk diberikan sanksi.
Ia juga meminta berkas perkara yang telah dilimpahkan tersebut harus dikembalikan dengan dasar atau bukti yang kuat. “Anthony hamzah harus di bebaskan dari tahanan,” ucapnya.
Anthony Hamzah Harus Dipenjara karena Ingin Ungkap Permufakatan Jahat PTPN V di Masa Lalu dan Mafia Tanah di Riau
Kuasa hukum Anthony Hamzah menduga ada hasrat kuat untuk memenjarakan kliennya itu. Lantaran kliennya saat ini ingin mengungkap kejahatan PT Perkebunan Nusantara di masa lalu dan mafia tanah di Riau.
Sejak 2016, kata Fuad, kliennya telah melaporkan PTPN V di Polda Riau atas pengelolaan secara single managemen kebun kelapa sawit Kopsa M seluas 2.000 hektar, sebagian telah gagal dan dikuasai oleh pihak lain.
Atas laporan yang sama, kliennya juga pernah melaporkan PTPN V pada 2019 lalu di Kejaksaan Tinggi Riau terkait penjualan kebun ke PT LH.
“Klien kami ini merupakan pelapor korupsi dan penjualan kebun Kopsa M oleh PTPN V ke PT Langgam Harmuni di kejati Riau pada tahun 2019, pelapor dugaan korupsi PTPN 5 di KPK, pelapor penjualan kebun Kopsa m oleh PTPN 5 ke PT Langgam Harmuni di Bareskrim Mabes Polri,” ujar Fuad.
Selain itu Fuad menambahkan, kliennya juga pelapor kemitraan PTPN V dengan Kopsa M di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Penulis : Bima Shagala