Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Memotret Tradisi Sembahyang Leluhur di Pulau Rupat

Memotret Tradisi Sembahyang Leluhur di Pulau Rupat



Berita Baru, Bengkalis – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau melihat upacara sembahyang leluhur yang dilakukan suku Akit dan komunitas Tionghoa di Pulau Rupat, Bengkalis, pada Jumat (12/8/2022).

Biasanya, upacara ini akan dilakukan oleh suku Akit dan komunitas Tionghoa yang sebagian besar beragama Buddha dan Konghucu pada setiap pertengahan bulan ke-tujuh Tahun Imlek.

Memotret Tradisi Sembahyang Leluhur di Pulau Rupat

Sembahyang leluhur tersebut merupakan salah satu dari keragaman tradisi di Pulau Rupat yang harus dipertahankan. Upacara itu juga salah satu keragaman tradisi budaya di Pulau Rupat dan salah satu jejak akulturasi antara suku asli dengan komunitas Tionghoa.

Tradisi yang terus bertahan di tengah luluh lantahnya keanekaragaman hayati Rupat yang dirusak aktivitas industri ekstraktif.

WALHI Riau menyebut upacara ini merupakan salah satu pendorong bagi masyarakat lokal untuk menjaga pulaunya. Alasannya, terdapat kelenteng tertua yang berusia 139 tahun terletak tepat di bibir utara pulau Rupat, Desa Titi Akar.

Kelenteng tersebut bernama Vihara Cin Buk Kiong. Kelenteng yang menjadi simbol kepercayaan Buddha hadir di pulau ini sejak ratusan abad lalu.

“Kelenteng ini berdiri pada tahun 1883 Masehi. Awalnya dari papan, lalu datang pengusaha sebelum 1900-an untuk dibuat tembok yang materialnya berasal dari Malaysia dan Singapura. Dan itulah yang bertahan sampai sekarang dan beberapa kali direnovasi,” kata salah satu pengurus Vihara Cin Buk Kiong, Soko Polayanto.

Berdasarkan tuturan Soko, ritual sembahyang tahunan kali ini disebut juga sembahyang malaikat. Tujuannya adalah untuk syukuran para leluhur atau arwah yang telah pergi secara tidak wajar, sehingga dapat menghindarkan masyarakat dari berbagai masalah dan gangguan.

Salah satu ritual sembahyang leluhur ini juga mengundang arwah datuk setempat yang beragama Islam, sehingga upacara leluhur tetsebut tidak memakai sesajen yang berisi babi dan arak. “Tapi untuk yang malam harinya kami khususkan untuk para dewa, sehingga sesajennya seperti ini (ada babi, red.), dan besok sesajen ini dimakan bersama,” ujar Soko.

Sekadar diketahui, ada perbedaan cara sembahyang leluhur antara masyarakat Konghucu dengan Suku Akit.

Masyarakat Konghucu melaksanakan rangkaian ritual sembahyang di Vihara menggunakan dupa.

Sementara itu, Suku Akit melaksanakan ritual sembahyang leluhur di rumah masing-masing menggunakan kemenyan. Akan tetapi, maksud dan tujuannya tetap sama.

Salah satu masyarakat Suku Akit dari Desa Suka Damai, Eriyanto mengatakan, sembahyang leluhur ini menjadi momen kebersamaan keluarga. “Biasanya sembahyang leluhur kami lakukan bersama di rumah orang tua untuk mendoakan orangtua kami yang telah pergi,” ucap pria yang kerap disapa Eri.

Penasaran, tim WALHI Riau pun melihat prosesi sembahyang tersebut di rumah orangtua Eri. Setelah masing-masing anggota keluarga berdoa ke para dewa, Eri dan keluarganya melanjutkan ritual membakar kertas bernama Kim Cua, simbol uang yang diperuntukkan kepada leluhur. Pembakaran diiringi dengan penuangan air putih, arak, kopi, dan teh ke sekeliling tempat pembakaran.

Disela-sela kunjungan tersebut, Eri menyampaikan rasa kekhawatirannya kepada WALHI Riau. Ia khawatir sumber penghasilan Suku Akit dari aktivitas tangkap ikan akan hilang, akibat tambang pasir laut dan kerusakan bakau yang terus terjadi.

“Nafkah hidup hilang, bencana abrasi dan banjir akan terjadi di kampung kami kalau perusahaan dibiarkan terus beraktivitas. Menjaga pulau tidak hanya menjaga sumber kehidupan kami dan turunan seterusnnya, tapi juga memastikan kebudayaan dan tradisi kami dapat terus berlangsung,” tutur Eri.

Memotret Tradisi Sembahyang Leluhur di Pulau Rupat

Begitu juga dengan Asun, salah satu nelayan Suku Akit. Asun mengatakan, sebelum mesin diesel dikenal, para orangtua kebanyakan tinggal di atas rakit. Hal itu dikarenakan sumber utama penghidupan mereka berasal dari laut, sehingga mereka menghabiskan banyak waktunya di laut.

“Orangtua dulu lebih susah. Sekarang sudah ada mesin, jadi bisa pergi pulang dari laut ke darat dalam sehari,” ujar Asun.

Asun juga bercerita, sampai sekarang Suku Akit kebanyakan masih menggantungkan hidupnya dari hasil laut, sehingga kondisi laut berpengaruh pada hasil tangkap mereka.

“Memang beberapa sudah mulai berkebun, tapi banyak yang masih melaut karena hanya itulah keahlian kami sejak dulu,” tambah Asun.

Tetap Melawan dan Mendesak Cabut Izin Tambang

Sejak Desember 2021, Suku Akit Rupat dan komunitas lainnya di Pulau Rupat bagian Utara berjuang mengusir aktivitas tambang pasir laut. Mereka menolak aktivitas tambang yang merusak ekosistem laut tempat mereka menangkap ikan dan udang.

Memotret Tradisi Sembahyang Leluhur di Pulau Rupat
Semb

Asun dan beberapa nelayan lokal yang ditemui tim WALHI Riau berharap izin tambang PT Logomas Utama dapat segera dicabut. Alasannya, agar mereka tenang mencari ikan di laut.

Direktur WALHI Riau, Boy Jerry Even Sembiring yang turut hadir dalam upacara ritual sembahyang leluhur Suku Akit, mengatakan bahwa tradisi semacam ini harus dilestarikan.

Menurut Boy, relasi Suku Akit dengan laut yang cukup kuat harus dihormati dan dilindungi, salah satunya dengan tidak membiarkan tambang pasir laut di perairan Rupat Utara beroperasi.

“Suku Akit adalah salah satu suku asli yang telah ada selama ratusan tahun. Pemerintah harus memperhatikan kebutuhan Suku Akit agar pulau kecil yang mereka huni tetap aman dari berbagai ancaman kerusakan lingkungan,” pesan Even.