Jelang Sidang Putusan Kasus Dugaan Pelecehan Seksual, Komahi UNRI Serahkan Petisi ke PN Pekanbaru
Berita Baru, Pekanbaru – Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Riau menyerahkan petisi kepada pihak Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin, (28/3/2022).
Pantauan Beritabaru.co, petisi yang diinisiasi oleh Komahi itu didaftarkan melalui Pusat Pelayanan PN Pekanbaru dan ditujukan untuk Ketua PN Pekanbaru.
Sebanyak 41 ribu orang telah memberikan dukungan atas petisi ini lewat platform change.org.
Petisi ini mendesak hakim agar dapat menghukum terdakwa kasus dugaan pelecehan seksual mahasiswi Unri, yakni Dekan Fisip Unri nonaktif Syafri Harto, secara maksimal.
Diketahui, sidang vonis atas kasus dugaan pelecehan seksual itu akan berlangsung besok, pada Selasa (29/3).
Ketua Umum Komahi Fisip Unri, Khelvin Hardiansyah, mengatakan bahwa penyintas dan organisasi yang ia ketuai ingin kasus tersebut dapat ditegakan seadil-adilnya agar penyintas mendapatkan keadilan sebagaimana semestinya, dan dapat memberikan efek jera bagi pelaku-pelaku kekerasan seksual.
“Memang, sulit untuk membuktikan kasus kekerasan seksual dengan payung hukum kita sekarang ini. Tapi dari awal perjuangan ini, besar harapan kami agar para penegak hukum dapat berlaku seadil-adilnya dan membantu penyintas untuk mendapatkan keadilan,” kata Khelvin yang juga merupakan dari penggagas petisi itu.
Sebelumnya, Dekan Fisip Unri nonaktif, SH, dituntut tiga tahun penjara dan membayar restitusi atas kerugian penyintas sebesar Rp 10 juta tujuh ratus tujuh puluh dua ribu. Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru, mendakwa SH, dengan pasal 289 KUHP tentang pencabulan.
Komahi menilai tuntutan itu terlalu rendah karena hanya sepertiga dari pasal yang dituntutkan. Meski begitu, mereka tetap menghormati keputusan JPU dalam memberikan tuntutan.
“Tujuan dari petisi ini untuk menggalang dukungan dari masyarakat Indonesia, untuk sama-sama menolak kekerasan seksual. Dengan tujuan dari petisi ini adalah meminta hakim agar menuntut terdakwa secara maksimal, sesuai atau lebih dari tuntutan JPU. Bagi kami, 3 tahun itu rendah dibandingkan dengan kondisi mental korban yang harus terbebani bahkan dalam jangka panjang,” ujar Khelvin
Komahi berharap setidaknya hakim dapat memberikan vonis sesuai dengan tuntutan dari JPU, dan tidak diberikan pengurangan lagi.
Menurutnya, kasus kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa, yang memberikan dampak traumatik kepada korban dalam jangka waktu yang panjang.
“Dalam lingkungan kampus sendiri, sangat marak terjadi kasus kekerasan seksual, namun sangat sedikit korban yang berani untuk melapor dan mengungkapkannya,” pungkasnya.