Ikan di Sungai Siak Terancam Punah Akibat Masifnya Perubahan Lahan Gambut jadi Kebun Akasia
Berita Baru, Pekanbaru – Tim Ekspedisi Sungai Nusantara menyebut ikan di Sungai Siak, Riau, terancam punah akibat masifnya perubahan lahan gambut menjadi perkebunan akasia.
Hal ini diungkapkan oleh peneliti dari tim ESN, Prigi Arisandi berdasarkan temuannya saat melakukan uji kualitas air dan inventarisasi keanekaragaman jenis ikan di Sungai Siak.
Prigi mengatakan, pembukaan lahan gambut secara intesif berdampak dalam peningkatan kandungan kadar logam berat dalam air.
Sebab penggarapan lahan gambut menjadi kebun akasia dibutuhkan proses peningkatan kadar pH yang menggunakan bahan kimia berbahan dasar Cu atau logam berat tembaga.
Dalam temuannya, tim ESN menemukan bahwa kadar Cu di Sungai Rawa, Siak, rata-rata 0,05 mg/L.
Menurut Prigi, standar kadar Cu tidak boleh lebih dari 0.02 mg/L. Kata dia, tingginya kadar Cu tersebut berasal dari bahan kimia dari proses pengolahan lahan gambut menjadi lahan akasia.
“Pencemaran logam berat dan fosfat di air sungai secara langsung dapat mengganggu sistem pernafasan ikan secara jangka panjang yang berakibat mengganggu proses pembentukan telur ikan,” ujar Prigi Arisandi kepada Beritabaru, Selasa (12/7).
Pencemaran Percepat Kepunahan Ikan
Tim Ekspedisi Sungai Nusantara melakukan ekspedisi di Sungai Siak, Riau, pada Sabtu (9/7/2022).
Kegiatan ekspedisi ini berkolaborasi dengan Komunitas Pondok Belantara dan Telapak Riau.
Tujuan ekspedisi ini untuk mendeteksi kesehatan sungai dan keanekaragaman ikan di Sungai Siak.
Dengan menggunakan perahu boat, mereka berangkat dari Desa Rawa Mekar Jaya menuju Danau Zamrud dengan menyusuri Sungai Rawa untuk melakukan uji kualitas air dan inventarisasi keanekaragaman jenis ikan di Sungai Rawa.
Dari informasi yang mereka peroleh dari nelayan Sungai Rawa menyebutkan bahwa pada tahun 1990 hingga 2000 masih dijumpai ikan dengan berat lebih dari 70 kg.
Sementara itu, udang yang menjadi tangkapan utama harian saat ini sudah menyusut.
Kini nelayan hanya bisa menangkap 20 kg udang setiap hari, namun saat ini dibutuhkan energi dan waktu ekstra untuk mendapatkan 5 kg udang dalam sehari.
Tim Koordinator Pondok Belantara, Eko Handiko Purnomo mengatakan, ikan-ikan khas di Sungai Rawa sudah semakin sulit ditemukan.
Ikan-ikan yang semakin sulit ditemukan, antara lain; ikan tapah, belida, lais, baung dan udang air tawar.
“Padahal dahulu sebelum adanya kanal-kanal besar dari perkebunan akasia masih banyak dijumpai ikan bahkan banyak nelayan yang setiap hari menangkap ikan dan menjadi profesi masyarakat di desa Mekar Jaya,” kata Eko Handiko Purnomo.
Eko menyebut, buruknya kualitas air di sungai Rawa nelayan harus mencari ikan jauh ke hulu di Danau Zamrud.
Saat melakukan uji kualitas air pada salah satu kanal dari perkebunan akasia yang berdekatan dengan perairan Sungai Rawa, ternyata mereka menemukan tingginya kadar fosfat yang mencapai 3,7 mg/L.
“Padahal standar untuk sungai kelas tiga kadar fosfatnya tidak boleh lebih dari 1 mg/L,” jelas Prigi yang merupakan alumni Fakultas Biologi Universitas Airlangga Surabaya ini.
Menurutnya, kadar fosfat yang tinggi menjadi salah satu faktor penyebab turunnya produktifitas dan reproduksi ikan di Sungai Rawa.
Tak hanya itu, dampak pencemaran fosfat dan logam berat yang berasal dari kanal-kanal kebun akasia juga menurunkan kadar oksigen dalam air.
“Untuk pertumbuhan optimum, ikan membutuhkan minimal 2,7mg/L, akan tetapi kadar oksigen di Sungai Rawa, rata-rata kurang dari 2 mg/L,” pungkas Prigi.