Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Bacakan Eksepsi, Kuasa Hukum Ketua Kopsa M Anthony Hamzah Anggap Dakwaan Jaksa Kabur

Bacakan Eksepsi, Kuasa Hukum Ketua Kopsa M Anthony Hamzah Anggap Dakwaan Jaksa Kabur



Berita Baru, Kampar – Tim pengacara terdakwa Ketua Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) Anthony Hamzah menganggap surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kampar, obscur libel atau tidak cermat, tidak lengkap, dan tidak jelas.

Sidang lanjutan dari kasus Anthony Hamzah dengan agenda pembacaan nota keberatana atau eksepsi oleh terdakwa dilaksanakan di Pengadilan Negeri Kelas I B Bangkinang, Kampar, Kamis, (24/03/2022).

Sebelumnya jadwal persidangan sesuai dengan jadwal yang ada di Sistem Informasi Pelaporan Peserta (SIPP) PN Bangkinang, akan berlangsung pada pukul 11.00 WIB.

Namun, persidangan baru dimulai pada pukul 15.40 WIB, dikarenakan JPU dari Kejari Kampar, belum hadir di ruang sidang.

Pasca sidang perdana pekan lalu, Anthony Hamzah dijerat dengan pasal berlapis. Oleh karena itu, penasehat hukum terdakwa akan membacakan nota keberatan hari ini.

Tampak penasehat hukum terdakwa menyiapkan beberapa point sebagai bentuk keberatan terhadap dakwaan yang dituntut oleh JPU pada persidangan pekan lalu.

Samaratul Fuad selaku penasehat hukum terdakwa Anthony menyampaikan bahwa pihaknya telah menyiapkan lima poin besar yang dibacakan saat pembacaan nota keberatan atau eksepsi.

“Oleh karena itu, kami meminta agar majelis hakim mengabulkan eksepsi sepenuhnya dan menyatakan surat dakwaan batal demi hukum atau setidaknya tidak dapat diterima,” kata pengacara Anthony Hamzah, Samaratul Fuad dalam sidang pembacaan eksepsi di Pengadilan Negeri Bangkinang Kelas I B, Kamis (24/3/2022).

Nota keberatan yang tebalnya 49 halaman itu memuat berbagai argumen untuk menanggapi dakwaan penuntut umum.

Sidang akan dilanjutkan pada Kamis, 31 Maret 2022, dengan agenda mendengarkan jawaban dari JPU atas eksepsi terdakwa.

Dakwaan jaksa obscur libel atau tidak cermat, tidak lengkap, dan tidak jelas

Salah satu point dakwaan jaksa yang dinilai obscur libel, yakni dakwaan kesatu primair pasal 170 ayat 1 KUHP juncto pasal 56 ke-1 KUHP.

Jaksa penuntut umum telah mendakwa terdakwa dengan tindak pidana yang dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 170 ayat 1 KUHP jo Pasal 56 ke-1 KUHP.

Fuad menjelaskan, salah satu unsur-unsur dari Pasal 170 adalah perbuatan yang dilakukan “secara bersama-sama”. Secara bersama-sama artinya pelaku-pelaku bersekongkol untuk melakukan kekerasan. Bersekongkol ini bisa dilakukan saat kejadian atau sebelum kejadian sudah ada persengkolan itu untuk melakukan kekerasan.

“Bahwa berdasarkan ketentuan ini tentu harus mengacu kepeda ketentuan mengenai penyertaan dalam tindak pidana,” kata Fuad saat membacakan eksepsi di PN Bangkinang kelas I B, Kamis (24/3).

Menurut dia, surat dakwaan yang diuraikan oleh JPU tidak menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai peran serta terdakwa dalam melakukan perbuatan secara bersama-sama dalam surat dakwaan.

“Surat dakwaan JPU tidak diuraikan apakah terdakwa atau bagaimana masing-masing terdakwa mewujudkan perbuatan sebagaimana yang didakwakan, tidak diuraikan bagaimana terdakwa melakukan perbuatan, sehingga dapat dikatakan terpenuhi adanya kerja sama secara sadar antara terdakwa dengan para pelaku lainnya, dan tidak diuraikan bagaimana mereka bersama-sama melakukan kehendak dalam mewujudkan tindak pidana yang didakwakan,” ujarnya.

Kemudian, uraian surat dakwaan dalam dakwaan kesatu primair pada halaman lembar ke-4 alenia pertama yang menguraikan bahwa kemudian sekitar jam 19.30 WIB, saksi Karealitas Zagato dan saksi Efendi Simatupang mendatangi perumahan PT Langgam Harmuni dan melihat kondisi perumahan PT Langgam Harmuni sudah dalam keadaan rusak.

Selanjutnya, sekitar jam 21.30 WIB, saksi Efendi Simatupang bertemu dengan saksi Hendra Sakti Effendi di lokasi Perumahan PT LH. Saksi Efendi Simatupang bertanya kepada Saksi Hendra Sakti Effendi dengan berkata “ada apa ini?. Kenapa kalian lakukan seperti ini?. Saksi Hendra Sakti Effendi, kemudian menjawab dengan berkata “ini kebun kami dan seluruh karyawan tidak boleh berada disini?. Saksi Efendi Simatupang, kemudian berkata “lihat ini akibat massa yang kamu bawa”. Saksi Hendra Sakti Effendi, kemudian kembali berkata “ini kunci ada sama saya dan saya akan bertanggung jawab atas kejadian ini.

Pada saat percakapan antara saksi Efendi Simatupang dengan saksi Hendra Sakti, saksi Efendi Simatupang melihat dan mendengar bahwa saksi Hendra Sakti menghubungi seseorang yang kerap disapa oleh saksi Hendra Sakti dengan sebutan “Ketua, Ketua”. Merasa penasaran dengan orang yang disapa oleh saksi Hendra Sakti dengan sebutan “Ketua” tersebut, kemudian saksi Efendi Simatupang bertanya tentang orang yang disapa “Ketua” tersebut.

Lalu, HS mengatakan bahwa “Ketua” yang disapa tersebut adalah terdakwa Anthony Hamzah. Kemudian, sekitar pukul 22.00 WIB, HS serta massa sebanyak sekitar 300 (tiga ratus) orang yang datang bersama HS tersebut meninggalkan perumahan PT LH.

“Bahwa uraian dakwaan JPU ini tidak dapat menggambarkan bahwa terdakwa sebagai orang yang melakukan perbuatan secara bersama-sama dengan pelaku lainnya sesuai dengan pasal yang disangkakan,”

“Uraiaan dakwaan JPU ini tidak dapat juga menggambarkan bahwa terdakwa telah menyuruh melakukan perbuatan yang didakwakan,” imbuhnya.

Kata Fuad, untuk dapat dikatakan telah melakukan perbuatan secara bersama-sama harus memenuhi dua syarat, yaitu adanya kerja sama secara sadar antara terdakwa dengan para pelaku lainnya.

“Antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain haruslah memiliki kehendak untuk melakukan perbuatan itu secara bersama-sama,” jelasnya.

Menurutnya, uraian dakwaan yang seperti ini tidaklah dapat menggambarkan telah terjadi adanya kerjasama secara sadar antara terdakwa dengan saksi HS, serta tidak juga dapat menggambarkan bahwa terdakwa dengan mereka lainnya telah memiliki kehendak yang sama dalam melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan JPU.

“Sesuai dengan uraian sebagaimana diuraikan diatas, perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa yaitu dengan tenaga bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang yang “bersama-sama melakukan”, tidak terurai secara cermat, jelas dan lengkap dalam dakwaan ini, karena persyaratan bahwa perbuatan dilakukan dua orang harus ada terpenuhi, dalam hal ini bahwa kedua orang itu, dalam hal ini terdakwa dengan pelaku yang lain semuanya haruslah melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu,” terangnya.

Dakwaan Subsidair

Bahwa dalam dakwaan subsidair, terdakwa telah didakwa oleh JPU, melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 406 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Berdasarkan surat dakwaan yang dibuat oleh JPU sebagaimana dalam dakwaannya telah menguraikan, bahwa tindak pidana yang didakwakan dalam hal ini memuat unsur penyertaan, artinya yang dipermasalahkan dalam hal ini adalah perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama.

“Penyertaan (deelneming) dipermasalahkan disini karena tindak pidana dilakukan bersama oleh beberapa orang. Apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang, sehingga harus dicari pertunggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa tersebut,” ujar Fuad.

Dakwaan subsidair atau kedua, atau ketiga tidak terdapat unsur pengaduan

Bahwa dakwaan yang diajukan terhadap terdakwa sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan kedua atau ketiga adalah sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 368 ayat 1 KUHP.

“Pasal pemerasan ini merupakan jenis klach delict atau delik aduan, dan bisa ditindak jika korban melaporkan atau mengadu,” jelasnya.

Kata dia, bahwa delik aduan ini hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Artinya, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban).

“Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian,” ujarnya.

Sedangkan berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/332/X2020/RIAU/RES KAMPAR, pelapor Karealitas Zagoto, pada Kamis, 15 Oktober 2020, telah melaporkan tindak pidana pengrusakan.

“Hal ini memperlihatkan bahwa yang dilaporkan adalah tindak pidana pengrusakan, sebagaimana dalam laporan polisi yang dimaksud sebagaimana dalam dakwaan kesatu primair dan subsidair,” ucapnya.

“Jika mengacu kepada surat dakwaan JPU pada dakwaan kedua, atau ketiga yang mendakwa pasal Pasal 368 ayat 1 KUHP. Pasal ini merupakan delik aduan. Terhadap pelaku delik aduan hanya bisa dilakukan proses hukum pidana atas adanya pengaduan. Sedangkan dalam berkas perkara, dalam LP saksi Karealitas Zagato tidak ditemukan dalam laporan polisi sehubungan dengan adannya dugaan tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam pasal 368 ayat 1 KUHP,” imbuhnya.

Fuad bertanya, dengan dasar apa dilakukan penyelidikan dan penyidikan, serta penuntutan oleh JPU. Jadi menurutnya, berdasarkan pada uraiaan diatas proses penuntutan terhadap terdakwa tidak dapat dilakukan, karena tidak didahului terlebih dahulu dengan adanya aduan dari korban, artinya terdapat perkara ini tidak terdapat adanya unsur pengaduan.

Dakwaan Keempat

Bahwa dalam dakwaan keempat, terdakwa telah didakwa oleh JPU, yang melakukan, menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 335 ayat 1 Ke-1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Bahwa berdasarkan surat dakwaan JPU dalam dakwaan ini adalah untuk dapat dijerat pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP, perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur berikut,yakni (1) Barang siapa, (2) Secara melawan hukum, (3) Memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dan (4) Memakai kekerasan atau ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.

“Bahwa dalam dakwaan JPU ini tidak menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap unsur-unsur terkait dengan perbuatan memaksa, yakni memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu,” paparnya.

Hal itu merujuk pada pasal 89 KUHP, dimana definisi melakukan kekerasan yakni menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil dan tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Yang disamakan dengan “melakukan kekerasan” ialah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).

“Berdasarkan uraian yang kami paparkan di atas, bahwa jelas dan terang JPU dalam menyusun surat dakwaan kepada terdakwa di atas tidak memenuhi unsur-unsur dari pasal -pasal yang di dakwakan kepada terdakwa, sehingga hal inilah yang membuat surat dakwaan JPU tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap sesuai yang dimaksud oleh Pasal 143 ayat 2 dan pasal 156 ayat 1 KUHAP,” ujar Fuad membacakan kesimpulan dari eksepsi itu.