Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

LAM Riau Lepas Keberangkatan Masyarakat Adat Pantai Raja ke Jakarta Demi Perjuangkan Haknya Atas Tanah

LAM Riau Lepas Keberangkatan Masyarakat Adat Pantai Raja ke Jakarta Demi Perjuangkan Haknya Atas Tanah



Berita Baru, Pekanbaru – Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) melepas puluhan masyarakat adat Desa Pantai Raja, Perhentian Raja, Kampar, berangkat ke Jakarta untuk menyampaikan aspirasinya terkait konflik agraria dengan PT Perkebunan Nusantara V. Masyarakat adat tersebut berangkat ke Jakarta mengendarai satu bus.

Ketua Dewan Pengurus Harian LAMR, Datuk Seri H Taufik Ikram Jamil mengatakan, ada sebanyak 31 orang dari masyarakat adat Pantai Raja yang berangkat ke Jakarta.

“Ada sebanyak 31 orang, mereka didampingi oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi mahasiswa,” kata Taufik usai melepas rombongan masyarakat adat Pantai Raja di Kantor LAMR, Jalan Diponegoro, Pekanbaru pada Jumat (21/10/2022).

Adapun lembaga yang mendampingi yaitu Jaringan Kerja Penyelemat Hutan Riau (Jikalahari), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Riau.

Menurut Taufik, LAMR mendukung penuh perjuangan masyarakat adat tersebut. Sebab sebelumnya, diketahui, LAMR juga telah menerbitkan surat dengan perihal “Dukungan Perjuangan Masyarakat Adat Desa Pantai Raja” tertanggal 19 Oktober 2021.

Surat dukungan itu ditujukan kepada Menteri BUMN (Erick Thohir), Menteri ATR/BPN (Hadi Tjahjanto) dan Kepala Staf Presiden (Moeldoko).

Tak hanya itu, surat tersebut juga ditujukan kepada Komisi II dan VI DPR RI.

“Selamat berjuang, mudah-mudahan Allah meridhoi,” ujar Taufik

Berdasarkan pantauan, masyarakat adat Pantai Raja menaiki bus yang terparkir di depan Kantor LAMR. Mereka tidak membawa banyak barang, hanya tas serta bekal makanan yang dimasukkan dalam kantong plastik. Mereka juga membawa beberapa spanduk.

Spanduk tersebut berisikan tuntutan kepada sejumlah isntansi pemerintah pusat. Salah satunya isi tuntutan dalam spanduk itu, meminta Menteri BUMN Segera Memecat Direktur Utama PTPN V lantaran bertindak arogan kepada masyarakat adat Pantai Raja yang Digugat di Pengadilan Negeri Bangkinang dan Dilaporkan ke Polda Riau.

Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setyo mengatakan, masyarakat adat Pantai Raja akan berada di Jakarta selama 10 hari.

“Selama 10 hari di Jakarta, nantinya masyarakat akan menginap di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),” kata Okto.

Sekadar untuk diketahui, konflik agraria antara Masyarakat Adat Pantai Raja dengan PTPN V sejak 1984.

Berdasarkan pengakuan dari masyarakat, pada saat itu PTPN V merampas dan membabat kebun karet mereka seluas 1013 hektar.

Saat itu masyarakat tidak berani melawan dan siapa saja yang melawan akan dituduh sebagai antek-antek PKI. Pasca reformasi, masyarakat adat Pantai Raja melakukan aksi menuntut tanah mereka dikembalikan.

Kemudian, pada 6 April 1999 terjadi pertemuan dengan Direksi PTPN V pada 6 April 1999 yang dihadiri oleh Pemda TK II Kampar, UPIKA Kecamatan Siak Hulu, Direksi PTPN V beserta Kabag, ADM dan staf Gaswilpir (ADO) Kebun Sei Pagar, Forum Mahasiswa yang tergabung dalam FKMKI, Ninik Mamak dan Tokoh Masyarakat Pantai Raja.

Pada pertemuan itu, pihak PTPN V mengakui luas areal kebun karet masyarakat yang terkena kebun inti seluas 150 hektar. Walhasil, PTPN V berjanji akan memberikan sagu hati sebesar seratus juta rupiah. Janji itu tertuang dalam surat kesepakatan. Namun masyarakat menolak sagu hati tersebut dan meminta PTPN V supaya mengembalikan lahan mereka.

Akibat permintaan mereka tak pernah dipenuhi oleh perusahaan plat merah itu, masyarakat bersurat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Akhirnya lembaga itu menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut serta memfasilitasi pertemuan dengan PTPN V di kantor Bupati Kampar pada 11 April 2019.

Upaya perdamaian itu menghasilkan beberapa butir-butir kesepakatan, salah satunya PTPN V bersedia membangun kebun seluas 150 hektar dengan pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).

Akan tetapi masyarakat meminta 150 hektar itu bukan model KKPA karena dianggap berhutang.

Masyarakat setuju jika dibangunkan kebun sawit degan pola KKPA, tetapi mereka meminta PTPN V membangunkan kebun seluas 400 hektar, karena masyarakat yang terdampak sebanyak 157 KK.

Lantas, pihak PTPN V menganjurkan membentuk tim gabungan yang isinya masyarakat dan PTPN V. Tim itu bertugas untuk mencari beberapa titik lahan kosong guna dijadikan kebun.

Masyarakat adat Pantai Raja mengaku bahwa mereka sudah beberapa kali melakukan survei lapangan. Namun lagi-lagi tak ada tindak lanjut dari PTPN V sampai batas waktu yang telah disepakati.

Lantaran tidak ada tindak lanjut dari perusahaan sawit milik negara itu, mereka melakukan aksi selama 23 hari dengan menduduki lahan PTPN V di Kebun Sei Pagat pada 10 Agustus 2020. Aksi itu ditengarai karena PTPN V tak juga merealisasikan janjinya kepada mereka.

Selama aksi, sempat ada upaya dari PTPN V. Pada hari ke-14 aksi, PTPN V mengundang masyarakat bermediasi di kantor Pusat PTPN V, Jalan Rambutan, Pekanbaru.

Alih-alih melanjutkan rekomendasi Komnas HAM RI, PTPN V melalui Chief Executive Officer (CEO) Jatmiko K Santosa, justru melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Bangkinang.

Dalam gugatannya, PTPN V menuntut ganti rugi kepada masyarakat adat Pantai Raja sebesar Rp 14,5 miliar, buntut dari aksi menduduki lahan inti PTPN V di Kebun Sei Pagar, selama 23 hari.

Pada 21 Juli 2021, majelis hakim yang diketuai oleh Riska Widiana serta hakim anggota Sofya Nisra dan Ferdi mengabulkan sebagian gugatan PTPN V.

Adapun putusan majelis hakim, pertama, menyatakan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum. Kedua, sertifikat hak guna usaha yang dikeluarkan BPN Kampar pada 24 Maret 2001 ke PTPN V sah, berharga dan memiliki kekuatan hukum mengikat.

Ketiga, berita acara kesepakatan rapat antara masyarakat Pantai Raja dengan direksi PTPN V pada 6 April 1999, bukan alas hak atas tanah milik tergugat maupun pihak lainnya.

Terakhir, tergugat atau yang diwakilinya tidak terbukti memiliki hak atas tanah di atas HGU milik PTPN V.Majelis juga menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 14.657.000.

Terkait tuntutan ganti rugi sebesar Rp14.506.392.641, majelis hakim menolak gugatan agar masyarakat membayar kerugian yang dialami PTPN V. Alasannya, tidak terbukti.Tak hanya melayangkan gugatan secara perdata, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu juga melaporkan masyarakat ke Ditreskrimsus Polda Riau.