Anthony Hamzah Tetap Ditahan Meski Tak Ada Surat Penetapan, Setara Institute: PN Bangkinang Melanggar Hukum dan HAM
Berita Baru, Pekanbaru – Setara Institute menyebut majelis hakim Pengadilan Negeri Bangkinang melakukan pelanggaran etik dan prosedural terhadap Ketua Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) Anthony Hamzah.
Tudingan ini muncul lantaran dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau yang bergelar doktor itu ditahan tanpa adanya surat penetapan penahanan dari PN Bangkinang.
“Sejak 22 Maret 2022 dengan masa persidangan 17 Maret sampai 31 Mei 2022 hingga sampai saat ini, AH diketahui ditahan di Rutan Polres Kampar tanpa ada surat penetapan penahanan dari majelis hakim kepada yang bersangkutan, bahkan surat ini pun tidak pernah diterima oleh Kejaksaan Negeri Kampar dan Polres Kampar,” kata Tim Advokasi Keadilan Agraria-Setara Institute, Disna Riantina kepada Beritabaru, Kamis (16/6/2022).
Disna mengatakan, aparat penegak hukum (APH) di wilayah Kampar kembali mempertontonkan pagelaran hukum secara serampangan terhadap sosok AH.
“Persoalan ini menunjukkan begitu kentara dan kuatnya tipe peraturan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) mencengkeram kebebasan pejuang hak asasi manusia (HAM) yang alih-alih melindungi, justru tren untuk mengkriminalisasi dan menggugat masyarakat yang membela kepentingan HAM dan lingkungan terus meningkat,” ujarnya.
Menurut Disna, penahanan AH tanpa adanya surat perintah penahanan Majelis Hakim dan atau Ketua Pengadilan Negeri Bangkinang merupakan tindakan yang tidak sah dan ilegal. “Ironis memang selama 3 bulan lebih status penahanan terdakwa tidak jelas rujukan hukumnya, sementara penahanan tetap berlangsung,” ucapnya.
Disna menyebut majelis hakim seolah-olah minta diajari kembali untuk membuka Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai kitab pegangan sehari-hari. Sebab, kata dia, persoalan ini sangat jelas menunjukkan adanya pelanggaran atas ketentuan pasal 21 ayat (2) KUHAP jo pasal 20 ayat (3) KUHAP jo pasal 59 KUHAP, begitupun dengan Peraturan Kapolri No. 4/2015.
“Tidak hanya ketentuan hukum di atas, majelis hakim atau Ketua PN Bangkinang juga melanggar ketentuan dalam Peraturan Bersama Ketua MA RI, MenkumHAM RI, Jaksa Agung dan Kapolri,” jelasnya.
Peraturan bersama dengan nomor:099/KMA/SKB/V/2010, nomor: M.HH-35.UM.03.01TAHUN 2010, nomor: KEP-059/A/JA/05/2010, nomor: B/14/V/2010, mengatur tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana Dalam Mewujudkan Penegakkan Hukum yang Berkeadilan.
“Dijelaskan dalam peraturan bersama ini bahwa konsekuensi hukum jika masa penahanan sudah habis dan tidak ada perpanjangan penahanan, maka tersangka atau terdakwa dikeluarkan dari tahanan demi hukum,” terangnya.
Begitupun dengan ketentuan Pasal 24 – 28 UU 8/1981 tentang KUHAP, kata dia, dalam norma hukum ini disebutkan walaupun ada surat perpanjangan penahanan namun masa penahanan sudah habis sebelum persidangan diputuskan, maka terdakwa wajib di bebaskan.
“Apalagi dalam kasus ini, terdakwa ditahan tanpa adanya surat perintah perpanjangan penahanan. Meskipun untuk urusan adminstrasi yudisial terlihat sepeleh, namun memiliki dampak yang sangat buruk terhadap pemenuhan HAM terdakwa,” sebutnya.
Tak hanya bobrok dalam menjatuhkan hukum, Disna menyebut PN Bangkinang juga memperlihatkan betapa buruknya tata kelola dan tata laksana sistem peradilan di Kampar.
“Sebagai bentuk kepatuhan dan ketaatan atas amanat hukum dan konstitusi, sekaligus pemenuhan HAM atas terdakwa yang jelas-jelas telah dilanggar, AH harus dibebaskan dari masa penahanan yang penuh cacat prosedural dan pelanggaran hukum,” tegasnya.
Atas hal ini, Disna mengungkapkan bahwa pihaknya telah melaporkan ketiga institusi penegak hukum di Wilayah Kampar tersebut. Kata dia, PN Bangkinang mereka laporkan ke Komnas HAM dan MA RI.
Begitu juga dengan Kejari Kampar, korps adhyaksa ini juga dilaporkan ke Komnas HAM dan Kepala Kejati Riau Cq Aswas.
Tak hanya itu, Polres Kampar juga mereka laporkan ke Komnas HAM, Itwasda Polda Riau, dan Propam.
“Kita sudah laporkan semalam untum tiga penegak hukum di wilayah Kampar ini. Ada dua laporan pada masing-masing instansi, satu dari Equality Law Firm selaku kuasa hukum AH, dan satu lagi dari Koalisi Keadilan Agraria,” pungkasnya.