Menteri ATR/BPN Didesak Cabut HGU PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM) di Pelalawan
Berita Baru, Pekanbaru – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyoroti tragedi kecelakaan lalu lintas yang menimpa rombongan masyarakat pelalawan saat hendak berangkat dari Kota Pekanbaru ke Jakarta untuk bertemu pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Mereka menilai bahwa kecelakaan yang menimpa aktivis Said Abu Sofyan, Kazzaini KS dan Afif akibat lambannya respon kementerian tersebut menyikapi tuntutan masyarakat yakni menuntut pencabutan hak guna usaha (HGU) milik PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM) seluas 6.055,77 hektar di Kabupaten Pelalawan, Riau.
“Kejadian ini tentu merupakan tanggung jawab Bapak Hadi Tjahjanto yaitu Menteri ATR/BPN, sebab keberangkatan mereka ke Jakarta bentuk lambannya respon Kementerian ATR BPN atas tuntutan masyarakat,” kata Direktur Eksekutif WALHI Riau, Boy Jerry Even Sembiring.
Menurut Boy, apabila Menteri ATR/BPN segera mengabulkan tuntutan masyarakat untuk mencabut HGU PT TUM, masyarakat tidak akan bergerak ke Jakarta dan kecelakaan tidak akan terjadi.
Diketahui, pada 17 September 2022, masyarakat Pulau Mendol, Kuala Kampar, Pelalawan sebanyak 18 orang berangkat ke Jakarta dari Pelalawan setelah dilepas oleh Wakil Bupati Pelalawan, Nasarudin.
Tujuan mereka berangkat kesana untuk bertemu dengan salah satu pihak di Kementerian ATR/BPN guna menyampaikan tuntutan mereka tersebut yaitu mencabut Hak Guna Usaha PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM).
Namun nahas, mobil yang ditumpangi beberapa aktivis yang turut mendampingi masyarakat Pulau Mendol mengalami kecelakaan di jalan tol Serang, Provinsi Banten, Ahad (18/9/2022).
Akibat kecelakaan itu, aktivis bernama Said Abu Sofyan mengalami luka berat pada kepala. Informasinya, hingga kini Said Abu Sofyan masih dalam kondisi kritis. Sedangkan akitvis lainnya, Kazzaini KS mengalami patah tangan pada bagian kiri dan Afif jarinya patah.
Pulau Mendol Kembali Membara
Paska PT TUM menebang hutan alam dan merusak gambut di Pulau Mendol, ratusan masyarakat protes hingga menahan alat berat yang sedang bekerja pada Juli 2022 lalu.
Sejak saat itu, Said Abu Sofyan lantang menyuarakan protes bersama masyarakat Pulau Mendol hingga mendatangi Kantor Wilayah BPN Riau. Di bulan itu pula, Bupati Pelalawan Zukri Misran menyurati PT TUM untuk menghentikan aktifitas, dan menegaskan areal PT TUM telah dicabut pada 2020.
Direktur Eksekutif WALHI Riau, Boy Jerry Even Sembiring meminta Kementerian ATR/BPN harus segera mencabut izin PT TUM. Menurut dia, perjuangan panjang masyarakat Pulau Mendol menuju Jakarta hanya dapat ditebus dengan cara pencabutan izin HGU seluas 6.055,77 hektar.
“WALHI Riau sudah menyampaikan persoalan HGU di Pulau Mendol, Kecamatan Kuala Kampar kepada Wakil Menteri ATR/BPN pada 12 September 2022,” kata Boy.
“Selanjutnya, masyarakat Pulau Mendol, Kecamatan Kuala Kampar didampingi Kazaini KS dan Said Abu Sofyan berencana kembali menemui Wakil Menteri ATR/BPN. Namun sayang, Said Abu Sofyan dan kawan-kawan tidak dapat ikut bertemu karena dalam kondisi belum sadar dan dirawat di rumah sakit, sebab pertemuan tersebut berlangsung pada 20 September 2022,” ujar Boy.
Mengapa Menteri ATR/BPN Harus Mencabut HGU PT TUM?
HGU PT TUM terbit berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 103/HGU/KEM-ATR/BPN/ 2017 tanggal 19 Oktober 2017. Boy mengatakan, merujuk tanggal penerbitan Keputusan tersebut, maka aktivitas PT TUM dipertengahan 2022 sudah lebih tiga tahun dari tanggal penerbitan keputusan.
Menurutnya, penerbitan HGU di atas wilayah pulau kecil dan wilayah kelola rakyat di Pulau Mendol dapat menggambarkan begitu lambatnya laju Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) pada periode Menteri Sofyan Djalil.
Pasalnya, sebaran HGU PT TUM tersebar di lima desa, di antaranya, Desa Sungai Solok 136,49, Desa Teluk Bakau 382,24 hektar, Desa Teluk Beringin 715,14 hektar, Desa Teluk Dalam 2.430,07 hektar dan Desa Teluk 2.443,36 hektar.
Boy membeberkan, berdasarkan hasil olah citra satelit bahwa tutupan hutan dengan kerapatan >30 persen berada di Desa Teluk Dalam. Kemudian terdapat hasil tumpang susun dengan peta Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) KLHK tahun 2017, dimana areal HGU PT TUM dominan berada pada indikatif Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG). Disebutkan, HGU diterbitkan di atas 9,96 hektar fungsi lindung ekosistem gambut non kubah gambut dan 5.679,53 hektar fungsi lindung ekosistem gambut kubah gambut.
Menurutnya, jika mengacu pada ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil konservasi secara tegas menyebut pemanfaatan pulau kecil diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, dan budidaya laut.
“Pembangkangan terhadap peraturan perundang-undangan, komitmen TORA dan perlindungan ekosistem gambut telah dilakukan Sofyan Djalil dalam penerbitan HGU PT TUM. Menteri Hadi Tjahyanto dan Wakil Menteri Raja Juli Antoni harus meluruskan kebijakan tersebut,” sebutnya.
“Pulau Mendol yang dikenal juga dengan nama Pulau Penyalai merupakan pulau yang luasnya hanya 312,89 kilometer persegi. UU Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tegas disebut pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan Ekosistemnya,” imbuhnya.
Selain melanggar ketentuan tersebut, Boy menilai proses awal penerbitan HGU PT TUM sudah menabrak berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
“Pasca HGU terbit, lagi dan lagi PT TUM tidak patuh pada kewajibannya. Jadi tidak ada alasan bagi Menteri ATR/BPN tidak memenuhi tuntutan masayrakat untuk segera mencabut HGU PT TUM,” kata Boy.
Hal senada juga disampaikan oleh Koordinator Umum Jikalahari, Made Ali. Ia menyebut aktivitas PT TUM telah mengganggu kelestarian ekosistem gambut dan dilakukan tanpa izin usaha perkebunan (IUP).
Made mengatakan, PT TUM tidak lagi mempunyai izin usaha perkebunan (IUP) sejak 2020.
“Pada 13 April 2020 terbit Keputusan Bupati Pelalawan KPTS.522/DPMPTSP/2020/401 yang menyatakan Pencabutan Izin Usaha Perkebunan-Budidaya (IUP-B) Kelapa Sawit PT Trisetia Usaha Mandiri. Keputusan tersebut memerintahkan kepada PT TUM untuk menghentikan semua kegiatan bentuk usaha perkebunannya,” ujar Made.
Made menambahkan, keputusan ini diikuti Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Pelalawan dengan mengirim surat kepada Menteri ATR/BPN yang memuat usulan pembatalan HGU PT TUM.
Selanjutnya, Bupati Pelalawan Zukri Misran juga mengirim surat kepada Direktur PT TUM untuk menghentikan aktivitas. Selain itu, meminta perusahaan mengeluarkan areal kerja di areal yang berkonflik dengan masyarakat pada 11 Juli 2022.
“Berdasarkan dokumen yang kami miliki, jelas dan terang secara de facto dan de jure PT TUM merupakan korporasi yang layak segera dicabut HGU-nya,” tegasnya.
“Kementerian ATR/BPN harus fokus untuk segera melakukan pencabutan izin serta menyiapkan areal tersebut menjadi objek TORA. Skema legalisasi maupun redistribusi merupakan solusi utama untuk meredakan konflik dan memuliakan keadilan untuk lingkungan hidup dan masyarakat,” tambah Made.
Guna menyegerakan pencabutan HGU tersebut, WALHI Riau dan Jikalahari secara tegas menyatakan solidaritas terhadap perjuangan masyarakat Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan. Sekaligus mendesak Menteri ATR/ Kepala BPN untuk mencabut HGU PT TUM dan ambil bagian dalam pendampingan kesembuhan sahabat kami, pejuang agraria, Said Abu Sofyan (SAS).